PEKANBARU [ GAOEL NEWS ] Di Indonesia, istilah organisasi masyarakat (ormas) dan premanisme seringkali disandingkan dalam wacana publik, meski keduanya merupakan entitas yang berbeda secara prinsip, tujuan, dan operasional. Perbedaan ini tidak hanya bersifat filosofis, tetapi juga legal, sehingga tidak tepat jika disamakan atau digeneralisasi. Ormas, sebagai entitas yang sah dan diakui negara, memiliki peran strategis dalam membangun tatanan masyarakat yang beradab, sementara premanisme merupakan praktik kriminal yang merusak sendi-sendi hukum dan keadilan.
Berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, ormas wajib berasaskan Pancasila dan tunduk pada konstitusi negara. Proses pendiriannya harus melalui prosedur hukum yang ketat, termasuk pendaftaran ke Kementerian Hukum dan HAM, serta memenuhi syarat seperti memiliki tujuan yang jelas, struktur organisasi, dan tidak bertentangan dengan nilai kebangsaan. Ormas lahir dari kesadaran kolektif masyarakat untuk berkontribusi dalam pembangunan, baik di bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, hingga penanganan bencana alam.
Sebagai sosial kontrol, ormas berfungsi mengawal proses demokrasi dengan memberikan masukan kritis kepada pemerintah, mendorong transparansi kebijakan publik, dan melindungi hak-hak warga. Contoh konkretnya adalah peran ormas dalam pendampingan hukum bagi kelompok marginal, advokasi kebijakan inklusif, atau penguatan kapasitas masyarakat desa melalui program pelatihan. Di sektor ekonomi, banyak ormas yang berkolaborasi dengan pemerintah dan swasta untuk mengembangkan kewirausahaan, seperti koperasi atau usaha mikro, yang menjadi motor penggerak perekonomian lokal.
Berbeda diametral dengan ormas, premanisme adalah praktik yang mengedepankan kekerasan, intimidasi, dan pelanggaran hukum untuk mencapai kepentingan pribadi atau kelompok. Premanisme tidak memiliki dasar filosofis, struktur organisasi yang jelas, atau legitimasi legal. Praktik ini identik dengan pungutan liar (pungli), penguasaan aset secara paksa, hingga aksi kekerasan yang mengganggu ketertiban umum. Premanisme tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga menjadi penghambat investasi, karena menciptakan ketidakpastian hukum dan rasa tidak aman bagi pelaku usaha.
Herwin MT Sagala, seorang aktivis dan penggiat sosial, menegaskan bahwa generalisasi ormas sebagai “preman” adalah langkah keliru dan kontraproduktif. Menurutnya, ormas telah lama menjadi mitra pemerintah dalam menjembatani aspirasi rakyat, mengawal kebijakan publik, serta mengisi celah layanan sosial yang belum terjangkau negara. Ia mencontohkan peran ormas dalam penanganan pandemi COVID-19, di mana relawan ormas turun langsung mendistribusikan bantuan, menyediakan fasilitas isolasi mandiri, dan mengedukasi masyarakat tentang protokol kesehatan.
Herwin juga menolak narasi yang menyebut ormas sebagai penghalang investasi. Justru, ormas kerap menjadi mediator antara investor dan masyarakat, memastikan proyek pembangunan berjalan sesuai prinsip keberlanjutan dan keadilan sosial. Misalnya, ormas lingkungan membantu perusahaan dalam melakukan analisis dampak sosial (AMDAL) atau memastikan pembangunan tidak merusak ekosistem lokal. Di sisi lain, premanisme-lah yang seharusnya diberantas karena praktiknya yang merugikan semua pihak, termasuk investor.
Menyamakan ormas dengan premanisme sama halnya mengaburkan garis tegas antara entitas yang legal dan ilegal. Ormas, dengan segala keterbatasan dan tantangannya, tetap berkomitmen pada prinsip kebersamaan dan gotong royong. Sementara premanisme adalah parasit yang hidup dari ketidakberdayaan masyarakat. Pemerintah perlu bersikap proporsional: memberantas premanisme secara tegas, tetapi juga melindungi ormas yang berperan positif.
Di tengah kompleksitas dinamika sosial, ormas adalah manifestasi partisipasi warga negara dalam berdemokrasi. Menstigmatisasi ormas sebagai “preman” hanya akan melemahkan sendi-sendi civil society yang justru menjadi garda terdepan dalam menjaga keseimbangan sosial. Pemerintah harus membedakan keduanya secara jelas, memberikan apresiasi pada ormas yang berprestasi, dan menindak tegas kelompok yang menyalahgunakan nama “ormas” untuk kepentingan premanistik.
Ormas dan premanisme adalah dua sisi yang berlawanan. Yang pertama adalah produk sistem demokrasi yang sehat, sementara yang kedua adalah residu dari ketidakadilan dan kegagalan penegakan hukum. Herwin MT Sagala mengingatkan kita: jangan pernah mengorbankan ormas yang progresif hanya karena ketidaksanggupan negara memberantas premanisme. Kolaborasi antara pemerintah, ormas, dan masyarakatlah yang akan membawa Indonesia pada kemajuan yang inklusif dan berkelanjutan.
Red