Sisingamangaraja XII: Pilar Martabat Batak dalam Bingkai Nasional dan Tantangan Dalian Na Tolu

admin

Pekanbaru, – GaoelNews.com – Bagi bangsa Batak, nama Sisingamangaraja XII, atau Patuan Bosar Sinambela, bukan sekadar gelar atau catatan sejarah. Ia adalah pilar penyangga eksistensi budaya dan simbol keteguhan martabat yang merentang jauh melebihi batas geografis Tano Batak. Analisis mendalam terhadap keberadaannya, seperti yang disoroti oleh pemikir Batak Herwin MT. Sagala, mengungkap lapisan makna yang dalam, bukan hanya bagi identitas Batak, tetapi juga dalam narasi besar Indonesia sebagai bangsa.

Sisingamangaraja XII berdiri tegak di persimpangan zaman. Sebagai pemimpin spiritual dan politik tertinggi (Ompu Pulo Batu), ia adalah penjaga warisan leluhur dan adat istiadat Batak. Namun, gelombang kolonialisme Belanda yang mengancam kedaulatan tanah dan kebebasan rakyatnya memaksanya mengambil peran baru: Pahlawan Perang. Perjuangannya yang gigih selama hampir tiga dekade melawan kekuatan asing bukan semata perlawanan fisik, melainkan pertaruhan total atas kemerdekaan dan harga diri bangsa Batak. Pengakuan Indonesia sebagai Pahlawan Nasional bukan sekadar penghormatan atas perjuangannya; ia adalah pengakuan bahwa darah dan semangat juang Batak telah menyatu dalam denyut nadi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian, Sisingamangaraja XII menjadi jembatan yang kokoh, menghubungkan identitas kultural Batak yang unik dengan kesatuan nasional Indonesia.

Kematiannya pada 17 Juni 1907 di Dairi bukanlah akhir yang biasa. Gambaran Sang Raja yang tewas sambil memeluk erat putrinya, Lopian, yang berlumuran darah setelah ditembak Belanda, adalah ikon pengorbanan tertinggi yang memilukan sekaligus agung. Adegan ini bukan sekadar tragedi personal, melainkan metafora universal: seorang pemimpin yang melindungi rakyatnya (yang diwakili sang putri) hingga tetes darah terakhir, sekaligus seorang ayah yang tak rela meninggalkan anaknya dalam kesakitan. Inilah esensi keagungan Sisingamangaraja XII – keberanian tanpa pamrih, cinta kasih yang dalam, dan kesetiaan tanpa syarat pada tanggung jawabnya, baik sebagai raja, ayah, maupun pemimpin spiritual.

Semangat, pengorbanan, dan keagungan inilah yang, menurut Herwin MT. Sagala, wajib menjadi cermin bagi generasi Batak masa kini dan mendatang. Tantangannya adalah bagaimana menyalakan kembali api perjuangan itu dalam konteks kekinian – bukan dengan mengangkat senjata, melainkan dalam membangun Indonesia sebagai bangsa Batak yang bermartabat dan bersahaja. Martabat dan kesahajaan ini harus berakar pada nilai-nilai luhur Batak, dengan Dalian Na Tolu sebagai kompas utamanya.

Di sinilah Herwin MT. Sagala menyampaikan kritik dan ajakan refleksi yang tajam. Apakah cara bangsa Batak mengistimewakan dan menghormati Sisingamangaraja XII selama ini sudah benar-benar selaras dengan ajaran leluhur Batak mula-mula (Dalian Na Tolu)? Ataukah hanya berupa “eforia” atau “kebanggaan” yang terkotak-kotak berdasarkan marga, wilayah, atau kelompok tertentu? Dalian Na Tolu mengajarkan harmoni dan tanggung jawab timbal balik dalam tiga relasi inti: Dongan Sabutuha (semarga), Hula-hula (pemberi istri), dan Boru (penerima istri). Pengistimewaan terhadap seorang Raja atau leluhur besar harus mencerminkan nilai-nilai ini: penghormatan yang tulus (bukan sekadar seremoni kosong), pengakuan atas jasanya bagi seluruh Bangso Batak (bukan golongan tertentu), dan tindak lanjut yang membangun persatuan dan kesejahteraan bersama sesuai prinsip gotong royong dan saling menghargai peran dalam Dalian Na Tolu.

Herwin menegaskan bahwa sebagai bagian dari bangsa Batak itu sendiri, setiap orang Batak wajib memperhatikan dan mengetahui secara mendalam siapa sesungguhnya Sisingamangaraja XII dan bagaimana perjuangannya. Pemahaman ini bukan untuk dikultuskan secara berlebihan dan keluar dari koridor adat, melainkan untuk menggali nilai-nilai inti yang bisa dihidupkan kembali. Apakah semangat persatuannya melampaui sekat-sekat kesukuan? Apakah keberaniannya membela kebenaran dan rakyat jelata? Apakah kesahajaannya sebagai pemimpin? Apakah pengorbanannya yang tanpa pamrih? Nilai-nilai inilah yang perlu diwarisi dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, dalam membangun usaha, memajukan pendidikan, menjaga lingkungan, berpartisipasi aktif dalam masyarakat, dan berkontribusi bagi Indonesia – selalu dengan menjunjung tinggi martabat sebagai orang Batak yang berlandaskan Dalian Na Tolu.

Oleh karena itu, narasi keberadaan Sisingamangaraja XII bagi bangsa Batak adalah narasi ganda: sebagai pilar budaya dan identitas, serta sebagai teladan kepahlawanan nasional yang menginspirasi. Namun, warisannya memanggil bukan hanya untuk dikenang, melainkan untuk diaktualisasikan secara kritis dan autentik. Generasi penerus Batak ditantang untuk melampaui kebanggaan simbolis dan eforia parsial. Mereka dipanggil untuk mewujudkan semangat dan pengorbanan Sang Raja dalam tindakan nyata yang membangun martabat diri, mempersatukan Bangso Batak dalam keragaman sesuai Dalian Na Tolu, dan berkontribusi bagi Indonesia – sebuah bangsa yang di dalamnya, martabat Batak berdiri tegak, bersahaja, dan bermakna, sebagaimana teladan agung yang ditinggalkan oleh Ompu Pulo Batu, Sisingamangaraja XII. Seperti seruan Herwin MT. Sagala, inilah saatnya merenung: Sudahkah penghormatan kita selaras dengan jalan yang ditunjukkan ompung kita sendiri?

EGL

Sisingamangaraja XII: Pilar Martabat Batak dalam Bingkai Nasional dan Tantangan Dalian Na Tolu
ESGL

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *